Kidung
Senja untuk Erfina
Resti
Dwi Mulyani
“Barangkali
hilang sajakku nanti,
Sebelum
mega berpijar redup diantara senja
Maka
ketahuilah kekasihku,
Bahwa
hujan akan menyanyikanmu
Sebuah
lagu rindu”
Aku
masih berdiri diantara kerumunan orang-orang yang mengidungkan doanya
untukmu, Erfina. Kakiku tak mampu ku gerakkan otot-ototnya untuk
mendekap pedihmu yang berkalut waktu. Hanya doaku yang bergetar
merayu Tuhan untuk sukmamu. Erfina, berhentilah menutup mata! Lihat
Erfina! Bayimu menangis memanggilmu. Tidakkah kau sambut gadis
kecilmu itu dan kau kecup keningnya Erfina?
Kau
masih ingat Erfina? saat kita adalah sepasang bocahkecil
tanpa tahu arti memberi hati? Erfina kecil yang sedari dulu menjadi
teman tawaku, teman candaku, dan teman menangisku. Bahkan dalam
kepolosan kita, dulu sempat kau tulis namaku dan namamu pada sebuah
layang-layang yang kemudian kita terbangkan bersama ditanah lapang.
Aku memainkan benang dan kau berlarian heboh menerbangkan tubuh
layang-layang bersama nyanyianmu yang sering membuat telingaku sakit.
Tapi demikianErfina, aku tak pernah membenci suaramu.
Pernah
sesekali Kau membuatku kesal, saat aku membutuhkan teman untuk
menerbangkan layang-layang, Kau pergi ke suatu tempat yang jauh ke
seberang kota bersama orang tuamu. Katamu, “aku mau ketemu sama om
Doktel Za, silupku yang lasa stlobely kemalin udah habis. Besok aku
bawain lagi pelmen dali kota deh Za, jangan malah yaa...”
Aku
yang belum bisa membedakan mana vitamin dan mana permen itu percaya
saja dengan perkataanmu. Akupun melambaikan tangan sambil menahan
sedihku saat mobilmu mulai melaju dihadapanku.
Sampai
suatu hari, saat usiaku beranjak 19 tahun dan kau 1 tahun lebih muda
dibawahku, kita masih memilih sekolah yang sama, ialah SMA N 1
Candradimuka. Kau masih menjadi sahabat terdekatku. Kalau dulu ketika
SD kita berjalan kaki bersama menuju sekolah, saat SMA aku
menjemputmu menggunakan Ninja hijauku.
Hampir
setiap makan siang kita selalu satu meja, dengan menu yang sama.
Selalu ada cerita yang menjadi awal perbincangan kita yang hangat.
Sungguh, ada kedamaian saat bersama denganmu,
sahabatku
Erfina.
“Afreza,
nanti sore aku mau ke om dokter. Tapi aku nggak janji ngasih kamu
permen ya... hahaa” seperti biasa setiap 3 bulan sekali, kau
berpamitan denganku.
“Hahaa... kamu mau ngambil silup stobely, Na? Pokoknya bawain aku pelmen dali kota yaa...” kataku sambil mengusap kerudung coklatmu.
“ Eh eh eh... aku udah bisa ngomong “R” dong sekarrrrrang... hahaa sirrrup rrrasa strrowberrrynya sekarrrang udah nggak jaman,” protesmu menampakkan wajah bangga.
“Hahaa... kamu mau ngambil silup stobely, Na? Pokoknya bawain aku pelmen dali kota yaa...” kataku sambil mengusap kerudung coklatmu.
“ Eh eh eh... aku udah bisa ngomong “R” dong sekarrrrrang... hahaa sirrrup rrrasa strrowberrrynya sekarrrang udah nggak jaman,” protesmu menampakkan wajah bangga.
“Duu
duuu... udah pinterrr ngomong eRRR ya sekarrrang,,, yahh seenggaknya
kalo dengerin kamu nyanyi, telingaku nggak sakit lagi,” kataku
sambil memegang telinga kananku.
“Afrezaaaa....
awas diatasmu...” kontan aku menengok keatas, dan aku merasa bodoh
ketika sadar kalau kau mengalihkan pandanganku kemudian merampok
makananku. Tanpa merasa berdosa, kau malah cengar-cengir menikmati
bebek bakar kesukaan kita berdua. Sesekali kau berbaik hati
menyuapiku yang sebenarnya itu adalah makananku. Tapi sungguh, aku
tak membenci sikapmu. Aku semakin merasa nyaman. Entah kedamaian
semacam apa yang kurasakan saat itu, Erfina.
Sore
itu aku mengantarmu pulang seperti biasa dari sekolah. Dihalaman
rumahmu sudah siap mobil yang yang akan mengantarkanmu ke seberang
kota. “Ayoo Nak, langsung masuk mobil ya, nanti kita terlambat.
Makasih ya Nak Afreza, sudah mengantar Erfina.” Tante Farida
membukakan pintu mobil untukmu putri tunggal yang amat dicintainya.
“Iya tante sama-sama... mari Om,
Tante,
Afreza
pulang duluan yaa... Erfina, jangan lupa pelmen stobelynya ya,”
ejekku sambil tancap gas, dan aku sempat melihatmu melet sambil
menutup pintu mobil.
Sepi.
Malam minggu biasanya kuhabiskan waktu denganmu menonton pertunjukan
teater atau sekedar mencari angin dan es krim disekitar alun-alun
kota. Dalam sepiku itu sempat terlintas perasaan apa yang sebenarnya
kurasakan terhadapmu. Apa semacam ini yang dinamakan Cinta? Aku
merasa bahwa Kau adalah gadis yang paling bisa membuatku rindu saat
aku sendiri. Dan paling bisa membuatku bertahan dalam kenyamanan yang
tak bisa kulukiskan dengan kanvas seluas apapun. Aku mulai memikirkan
keadaanmu. Aku mulai memahami mengapa kau harus rutin 3 bulan sekali
menemui doktermu. Erfina dibalik tingkahmu yang selalu ceria,
menyimpan ketegaran akan penyakit yang saat itu belum ku tahu sejenis
apa. Tapi di setiap ceritamu, seolah tak ada yang membahayakan dari
sakitmu itu.
Ya,
hanya seolah saja.
Aku
kembali memikirkan perasaanku. Jika memang ini cinta, artinya aku
melanggar persahabatan kita? Dosakah jika demikian? Tapi bukankah
cinta itu datang tanpa ku undang? Perasaan ini muncul dan mengalir
seperti air yang aku sama sekali tak berkuasa untuk mnghentikannya.
Hanya saja, aku tak cukup berani mengatakannya padamu saat itu.. Aku
takut perasaanmu berbeda terhadapku dan menjadi aral bagi
persahabatan kita.
Pikiranku
bertarung mencari kemungkinan-kemungkinan yang aku sendiri tak tahu
kebenarannya.
Senin
pagi kujemput Kau seperti biasa. Ku lihat senyum sapamu tak berubah
dari biasanya. Aku seperti melihat dua matahari yang terbit dipagi
itu. Sepanjang perjalanan ke sekolah kau
bercerita tentang bangunan rumah sakit yang saat ini sudah berubah
sehingga membuatmu lebih lama mencari ruangan om dokter. Aku sama
sekali tak pernah mendengarkan cerita keluhan darimu atas penyakitmu.
Seolah semua baik-baik saja. Kau adalah wanita yang tegar dan selalu
menampakkan
senyummu pada siapapun.
Pagi
itu upacara bendera seperti biasa dilapangan sekolah kita.
Pada
menit ke 35 setelah pengibaran bendera merah-putih,
aku
melihat segerombolan petugas P3K membopong gadis berkerudung putih
dari barisan kelas 2.
Spontan,
aku berfikir itu adalah Kau Erfina. Aku keluar dari barisan dan
berlari menuju gadis yang pingsan itu.
“Minggir
minggir... siapa yang pingsan? Erfina?” tanyaku pada salah satu
petugas P3K. “Bukan Kak, ini Dania kelas 2b. Permisi kak kami harus
segera membawanya ke UKS.
”
Jawabnya terburu-buru. “Oh ya, maaf maaf.” Aku sedikit lega
karena itu bukan Kau. Aku kembali kebarisanku, dan tak sedikit siswa
yang melirik heran terhadapku. Aku tak peduli, yang penting
kupastikan kau
baik-baik saja.
Jam
makan siang, aku hendak
mengajakmu makan seperti biasa.
Tapi
tak ku temui
kau
dikelasmu.
“Dek, lihat Erfina nggak? Dimana dia ya?” tanyaku pada Nadia
teman sekelasnya. “Kak Afreza nggak tau? Tadi sehabis upacara
bendera, Erfina mimisan. Terus waktu Mapel
fisika tadi dia pingsan,” katanya dengan nada cemas.
“Mimisan???
Pingsan??? Kenapa kamu nggak segera ngabarin kakak? Trus sekarang dia
dimana? Keadaanya gimana?” kekhawatiranku memuncak.
“Dia diantar pulang sama Firsan kak, maaf kak kami nggak kepikiran ngabarin kakak.”
“Dia diantar pulang sama Firsan kak, maaf kak kami nggak kepikiran ngabarin kakak.”
Firsan?
Firsan ketua OSIS itu? Pikiranku bertanya-tanya apakah dia kekasihmu
yang diam-diam tak kau ceritakan kepadaku? Atau jangan-jangan dia
pengagum rahasiamu yang memanfaatkn kesempatan ini untuk mengantarmu
pulang, dan mencari perhatian darimu? Tanpa berpikir panjang, aku
bolos sekolah
dan bergegas kerumahmu
untuk melihat kondisimu.
Aku
melihat sebuah mobil mewah bertengger didepan rumahmu,
yang langsung ku tebak itu mobil Firsan. “Eh nak Afreza, mari
masuk. Erfina di dalam sama temannya,” Sambut tante Farida
mengantarku kekamarmu.
Aku menggerakkan langkahku mendekati kau yang
sedang berbaring ditemani ayahmu
dan
seorang laki-laki berseragam putih abu-abu yang sudah pasti itu
Firsan. Aku mengabaikan semua yang kulihat kecuali Kau Erfina. Aku
memberanikan diri mendekatimu, dan menyaksikan darah lembut keluar
dari hidungmu. Kuambilkan tissu yang selalu tersedia dimeja samping
tempat tidurmu dan kubersihkan pelan-pelan darah yang keluar dari
hidungmu itu. Aku tahu itu bukan mimisan ringan.Tanpa kusadari untuk
pertama kalinya, aku menangis dihadapanmu dan orang tuamu. Tante
Farida membisikkan kepadaku, “Erfina nggak papa Nak,
lihat dia tersenyum melihatmu.”
Aku
menatapmu seperti Kau menatapku. Aku melihat sayup pandanganmu dan
mulai ada bendungan bening dipucuk matamu. Seperti terlukis kesakitan
yang dalam dibola matamu. Ada kisah yang disembunyikan olehmu. Kau
membisikkan sesuatu pada Ibumu, kemudian Ibumu mengajak ayahmu dan
Firsan menuju ruang tamu. Seperti ada yang hendak dikatakan olehmu
untukku. Tinggalah hanya ada aku dan kau
saat itu.
“Za,
kamu jelek sekali kalo nangis. Hidungmu terlihat besar dan merah.
Jelek sekali” Suaramu yang lirih membuatku sedikit tergelitik atas
apa yang kau ucapkan.
“Kamu
juga jelek kalo lagi mimisan. Hidungmu lebih merah dari badut.
Ma..makanya ja jangan mimisan lagi,” jawabku
sembari menyembunyikan wajahku di balik telapak tanganmu yang
kugenggam erat. “ Biarin
aku jelek. Tapi kamu sayang
kan?” sungguh, pertanyaanmu itu tidak pernah kusangka sebelumnya.
Aku terdiam. Aku tak mampu menyembunyikan perasaanku yang ternyata
bisa ditebak olehmu.
“Aku
menyerah Erfina. Cukup tersiksa menyembunyikan perasaanku terhadapmu.
Tapi tolong, jangan marah ya. Kamu nggak kecewa kan aku mengingkari
persahabatan kita?” kataku kebingungan dan tak percaya diri.
“Sejak
kapan Kau bodoh Afreza? Seharusnya Kau cukup pintar mencintai wanita,
diluar sana banyak yang lebih cantik dan tak berpenyakit sepertiku.
Aku tak berfikir sekecilpun untuk mengkhianati persahabatan kita. Kau
mengerti kan Afreza?” Tegas sekali Kau mengatakan hal itu. Aku
seperti berhadapan dengan pedang yang siap menusuk ke arah
paru-paruku. Kau tidak mencintaku. Benarkah? Seperti ada yang
memberontak dalam diriku. Aku mengusap wajahku dengan kedua tanganku.
Kuhembuskan pelan nafasku untuk menenangkan sejenak jiwaku yang
tergoncang. “Erfina, apapun yang kamu mau. Kamu mau menganggapku
sebagai laki-laki sebodoh apapun,yang jelas perasaanku tidak akan
berubah, aku selalu mencintaimu. Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana. Melihatmu sehat, melihatmu bahagia, dan mendengarmu
bernyanyi di setiap sela perbincangan kita.” Tiba-tiba kalimat
panjang mengalir dari mulutku.
“Afreza,
aku ini tidak sakit. Aku hanya mimisan ringan dan mengantuk berat.
Sudahlah, kita ini sahabat. Kamu bisa mendapatkan wanita yang tidak
ngantukan sepertiku. Yang bisa menyanyi lebih merdu dibanding
suaraku, agar telingamu tak sakit,” katamu membodohiku.
Kau
terlihat merendahkan hatimu. Tapi hal itu justru membuatku semakin
mencintaimu. Sebenarnya cukup banyak yang ingin kusampaikan saat itu,
tapi aku melihat raut lelah dari wajahmu. Aku memutuskan membiarkan
senja itu untuk istirahatmu.
“Erfina,
aku tidak ingin membuatmu semakin lelah. Aku hanya ingin menjagamu
bagaimanapun keadaanmu, beristirahatlah untuk kesembuhanmu. Aku pamit
dulu ya, kalau kamu butuh apa-apa sampaikan saja kepadaku. Oke?”
Kau hanya membalasku dengan senyuman dan sekali lagi kulihat matamu
berair.
Diruang
tengah kudapati om Edi, tante Farida, dan Firsan sedang membicarakan
sesuatu. Aku tertarik mendengarkan pembicaraan itu dari balik tembok.
“Jadi nak Firsan
ini kekasihnya Erfina? Kok dia belum cerita ke tante ya? Memang sejak
kapan Nak?” Pertanyaan tante Farida membuat lututku seperti meleleh
dan membuatku menyimpuhkannya dilantai.
“Iya tante, baru
kemarin sore kok. Hehee mungkin Erfiina
belum sempat menceritakannya sama Tante
dan Om.”
Jawaban Firsan semakin membuat mataku sembab.
“Sebenarnya
apa yang membuat kamu suka sama anak om Firsan? Kamu
sudah tahu tentang
penyakitnya? Dan apa kamu tidak menyesal?” tanya om Edi.
“Tahu
kok Om, dari awal saya mengungkapkan perasaan saya, Erfina bilang
kalau dia sakit. Tapi om sama tante tenang saja,
saya
mencintai Erfina dengan tulus Om,
walaupun dia sakit,” Jawab Firsan meyakinkan.
“Maaf
sebelumnya lho ya Nak Firsan, setahu tante si Erfina kan dekat dengan
Afreza. Jadi tante cukup kaget kalau ternyata nak Firsan ini
kekasihnya.” Pertanyaan tante Farida semakin membuat telingaku
enggan berpindah dari balik tembok itu.
“Oh
iya tante, kata Erfina
mas Afreza
itu sahabat terdekatnya sejak dia masih kecil. Tapi sekedar sahabat
Tan.” Jawaban Firsan sungguh membuatku membeku dibalik tembok.
Kenapa kau
tak pernah bercerita kepadaku tentang laki-laki yang dekat denganmu
selain aku?Bukankah katamu aku adalah sahabatmu?
“Ya
sudah, tapi ingat... kalian masih masanya sekolah. Jangan sampai
terganggu belajarnya!” Om Edi menghisap
dalam-dalam rokoknya sambil berlalu meninggalkan ruangan. Seperti ada
yang berat dihati om Edi.
“Terimakasih
Om, Tante. Ohya sepertinya hari sudah sore, saya pamit dulu ya Tante.
Salam buat Erfina.” Firsan berpamitan tanpa menengokmu terlebih
dahulu.
Sepertinya
raut wajah tante Farida juga menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang
sama denganku. Entahlah, lelah sekali pikiranku saat itu. Akupun
menyusul berpamitan dengan om Edi dan tante
Farida.
“Sembab sekali
matamu Afreza, kamu baik-baik saja kan?” tanya om Edi ketika
kujabat hangat tangannya.
“Saya
baik-baik saja Om. Saya hanya tak sanggup melihat sahabat terbaik
saya terbaring sakit.”
“Afreza,
om minta
tolong. Tolong bantu jaga Erfina. Om sangat percaya denganmu.”Om
Edi menepuk pundakku.
Kalimat
om Edi seperti memberiku secercah harapan. Aku berjanji pada diriku
sendiri dan kepada om Edi untuk menjagamu. Entah sebagai sahabatmu
atau sebagai kekasihmu.
Kutancapkan
gas ninjaku menyusuri trotoar masih dengan pikiranku yang kalut.
Bukan
memikirkan cintaku yang tertolak, tapi lebih
memikirkan
bagaimana membuatmu bahagia. Aku tak peduli mau seberapa hancur
perasaanku, yang terpenting adalah kesembuhan dan kebahagiaan
untukmu. Kalaupun Firsan ternyata adalah orang yang kau pilih, aku
berusaha tetap menjaga perasaanku tanpa memaksakan perasaanmu. Semoga
Firsan adalah lelaki terbaik untuk kamu,
Erfina.
Tapi kalau suatu hari nanti Firsan menyakitimu, maka aku adalah orang
pertama yang akan menghadapinya untukmu.
Hari
demi hari aku melihatmu membaik, bisa kulihat kembali tawa dan wajah
manismu. Hanya yang berbeda, sekarang Kau
tak lagi mau kuajak
ke alun-alun setiap malam minggu. Kau tak lagi makan siang semeja
denganku.
Kamu memilih Inova hitam dan kekasihmu Firsan untuk menggntikanku.
Aku kehilangan sosok Erfina yang baisanya selalu bersama denganku.
Kau
tahu Erfina? Saat
tanganmu bergandengan dengan Firsan, seolah-olah
ada yang merobek-robek
keras
tanganku. Pun saat melihatmu duduk berdua dengannya, seolah
ada api
melilit
disekelilingku. Jujur Erfina, aku cemburu. Amat sangat cemburu. Apa
kau sebegitu tak mengenaliku lagi? SMS atau telefonku tak kau jawab
seperti dulu. Saat berpapasan denganmu
pun
kau hanya sedikit menyunggingkan senyum.
Dosa apa yang
kuperbuat terhadapmu Erfina? Bukankah katamu kita adalah sahabat?
Paling tidak, jika kau tak menerimaku sebagai kekasihmu, kau masih
menerimaku sebagai sahabatmu. Tapi sejak Senin itu kau berubah.
Mungkin Kau bosan atau kesal atau apalah terhadapku. Baiklah, aku tak
apa kau acuhkan. Aku masih Afreza yang mencintaimu dari balik
kecemburuanku.
Empat
tahun berlalu, masih Kau semukan persahabatan kita.
Hingga
suatu hari
tiba-tiba
kau
mengirimiku sebuah SMS yang membuatku sangat terkejut bahagia.
Sungguh Erfina, itu SMS pertama yang kau kirim setelah empat tahun
kau
habiskan waktu kuliahmu di Kota orang.
“Afreza,
bgmna kbarmu?
Mlm
ini mau gk jmput aq, qt nostalgia ke alun-alun kota yuk…
kangen kamu, ~Erfina”
Segera
kubalas SMS-mu dengan tangan gemetar
“Kabarku
baik Erfina. Bgmna dngan kabarmu? Suatu
keajaiban diajak ke alun-alun olehmu setelah empat thun lebih kau tdk
ada kabar.
Tentu
saja aq mau. Aku
siap2 skrang ”
Aku
benar-benar tak sabar ingin menjemputmu malam itu. Sampai didepan
rumahmu, kudapati kau sudah menunggu di teras rumahmu yang luas.
Malam
itu aku melihatmu lebih dewasa Erfina.Gaunmu
sangat indah, serasi dengan senyum dan sapa yang dulu setiap hari
kulihat.
Aku
seperti melihat ada dua bulan yang bersinar dimalam itu, yaitu
dilangit
dan di sampingku.
Sekitar
satu jam kita jalan-jalan memutari keramaian alun-alun kota, Kau
mulai mengajakku mencari tempat duduk dan berbicara sesuatu yang
membuatku ingin mati saat itu juga.
“Afreza,
sebelumnya aku ingin melihatmu tersenyum dulu sebelum aku
menyampaikan hal ini kepadamu.” Kau menatapku ragu.Akupun tersenyum
memenuhi permintaanmu.
“Afreza,
aku minta maaf.
Empat
tahun ini mengacuhkan SMS dan telefonmu.
Tapi
sungguh, aku tak sedikitpun lupa denganmu.
Aku
ingin memberimu sesuatu.
Tapi
tolong, kamu jangan membenciku.”Kau menyodorkan selembar kertas
tebal bermotif bunga dan cincin. Kubaca pelan-pelan dan
berulang-ulang untuk memastikan apakah benar itu adalah namamu dan
nama Firsan yang tertera dalam undangan pernikahan itu. Benar.
Itu
Kau dan Firsan. Lama kutatap undangan itu, tak sadar mataku
melelehkan air yang selama ini beku didalamnya. Aku mencoba tenang,
tapi tak bisa.
Ingin
berteriak sekencang-kencangnya tapi aku tahu itu bodoh.
“Erfina,
aku pasti akan datang. Aku akan selalu ada kapanpun kau
mengundangku.” Hanya kalimat itu yang mampu terucap untuk
Erfina.kulihat
kau
hanya datar melihatku dengan sedikit menyembunyikan raut pucatmu. Aku
segera mengajakmu pulang. Sudah tak tahan ingin ku banting
bantal-guling yang tak berdosa itu sebagai pelampiasan kecemburuanku
terhadapmu.
Selasa,
4 Januari 2011 aku mengantarmu ke gedung akbar kota yang biasa
orang-orang pakai untuk resepsi. Aku berdiri tepat dibelakangmu dan
menyaksikan tanganmu digandeng mesra oleh Firsan. Gaunmu
yang amat serasi dengan gaun Firsan, cincin pernikahan yang melekat
erat di jarimu dan di jari Firsan, dan bunga-bunga yang kalian
kenakan, seperti cambuk panas bagi mata dan hatiku.
Tak kuasa kakiku lama-lama di belakangmu, aku berpura-pura mengangkat
telefon dan berpindah posisi.
Aku memeras air mataku dibalik pintu belakang yang kupastikan tak ada
orang yang melihatku.
“Tuhan,
jika puisi cintaku kau hentikan sampai hari ini, ijinkan aku tak
menjadikannya penyesalan. Sungguh, seberapa hancur perasaanku tak
akan kubiarkan egoku membuat hari bahagianya terganggu. Ya, hari
bahagianya. Semoga,”
gumamku
menyendiri lama dibalik pintu.
Memasuki
bulan pertama setelah pernikahanmu, aku tak mendapatimu ceria seperti
dulu. Kau lebih pendiam dan jarang terlihat diluar. Kabarmu pun tak
ku dengar lagi. Tapi aku sudah tak berhak mencampuri urusanmu yang
saat itu sudah menjadi urusan Firsan.
Aku
mulai mencari puisi yang lain untuk menggantikanmu di lubuk ini, tapi
tak bisa. Sungguh tak ada yang sepertimu lagi Erfina.
Suatu
hari, ku dengar kabar bahwa kau hamil. Kauhamil Erfina? Belum usai
kepedihanku akan pernikahanmu lalu kau berikan cambuk lagi untukku
dengan kehamilanmu dengan Firsan? Baiklah. Aku semakin sadar bahwa
aku bukanlah nyanyian indah untuk hidupmu. Walaupun kau akan selalu
menjadi puisi
terindah dalam hidupku. Mungkin aku mulai lelah dengan remuknya
cintaku, tapi Erfina, aku akan selalu mendoakan kebahagiaan untukmu.
Beberapa
bulan berlalu hingga kudengar suara tangis bayi perempuanmu dari
balik ruang bersalin RS. KasihIbu. Lalu ku saksikan Firsan
menggendong dan mencium kening bayi cantik itu dengan lembut dan
penuh haru. Firsan telah sah menjadi ayah dari anakmu Erfina. Dan
artinya aku telah sah menjadi nyanyian kosong bagi hidupmu. Ya,
nyanyian kosong. Aku mendekati bayimu dan kugendong merasakan
kebahagiaan bercampur kesedihan yang menjadi satu entah perasaan
semacam apa itu. Ku ucapkan selamat kepada Firsan dan kepadamu atas
lahirnya malaikat kecil pelengkap kebahagiaan rumah tanggamu. Tak
sadar kuhabiskan 2 botol air mineral dalam sekejap.
“Afreza…”
Kau memanggilku dengan suara lirih sekali, suaramu terdengar berat.
Aku segera mendekat kepadamu.
“Iya
Erfina, ada yang bisa aku bantu? Kau mau minum?” tanyaku khawatir.
“Besok
malam pergilah ke alun-alun kota, aku menitipkan secarik surat
untukmu sejak lima tahun yang lalu. Aku menulisnya untukmu. Ambilah
didalam botol yang kusimpan baik-baik di antara ranting besar, pohon
yang biasa kita tulisi nama kita,”
bisikmu pelan.
“
Sungguh Erfina?
lama sekali kau menyimpannya!Aku
pasti akan mengambilnya besok malam.”
Aku
sangat terkejut. Hamper seluruh logikaku tak percaya. Sungguh, aku
tak sabar menanti besok malam.
Sore itu aku ikut
mengantarmu dan bayimu kembali kerumah. Walaupun aku tahu tak penting
keberadaanku dibanding keberadaan Firsan saat itu. Aku menyetir mobil
Firsan dan membawa keluarga kecil kalian menuju rumah. Tentu saja ada
yang sesak didadaku, amat sesak Erfina. Kerap kali ku lirik Kau dari
kaca spion di dalam mobil. Kudapati kau tersenyum kepada kedua bola
mataku.
Malam
yang ku tunggu telah datang. Aku bersiap-siap menjemput surat yang
kau simpan untukku sejak lima tahun yang lalu. Di alun-alun kota yang
ramai oleh para remaja itu, mataku sibuk menelusuri ranting-ranting
yang besarnya sama dengan kaki gajah dan berselimut daun-daun lebat.
Tanganku meraba-raba pada bagian terdalam antara sela ranting-ranting
itu. Ada semacam benda yang kutemukan. Botol? Ya... itu botol...!!!
akhirnya aku menemukan botol yang berisi surat darimu. Tak perlu
berfikir lama, langsung kubuka botol itu dan kubaca coretan tinta
yang kau tulis itu.
Teruntuk
nyanyian terindahku , Afreza
Aku
masih berbicara
Pada
sederet mega yang berpijar diatas ufuk senja
Ada
semacam awan mekar menutupinya
Aku
berusaha sembunyi dibalik awan itu
Seperti
persmbunyian perasaanku terhadapmu, Afreza
Lewat
belasan tahun persahabatan kita
Tentu
ada kisah baru setelah aku dankau
telah dewasa
Afreza,
mendengar kejujuranmu hari kemarin
Aku
bahkan lebih bahagia dari sinar fajar yang menutup malam
Akupun
selalu menyimpan namamu sebagai nyanyian terindah
Pada
malam yang menggantung
dan pagi yang menjelang
Sungguh
Afreza, aku telah mengukir namamu
Sebagai
kekasihku
Tapi,
Ataxia-ku lebih kuat dari perasaanku
Mungkin
Ataxia ini akan merengkuhku
Entah
pada senja esok atau lusa
Maka
itu wahai kekasihku,
Aku
tak ingin kaupun merasakan sakitku
Cukup
dari balik persembunyianku
Aku
mencintaimu
Dan...
Barangkali
hilang sajakku nanti,
Sebelum
mega berpijar redup diantara senja
Maka
ketahuilah kekasihku ,
Bahwa
hujan akan menyanyikanmu
Sebuah
lagu rindu
Erfina
Membaca
tulisanmu itu, tubuhku seperti terlilit oleh angin tanpa kutahu panas
atau dingin. Ada rasa sesal kenapa baru kau perbolehkan aku untuk
membacanya malam ini? Kenapa
tak lima tahun yang lalu saja sebelum kau memilih Firsan? Tapi
sungguh Erfina, ada secercah bahagia setelah tahu perasaanmu
terhadapku. Malam itu juga ingin kupastikan kepadamu akan isi
suratitu. Aku menyusuri trotoar menuju rumah baru yang kau
singgahi bersama keluarga kecilmu.
Tiba
dihalaman rumahmu,
Erfina, tubuhku seakan mengerdil. Mataku tak dapat kupercaya dengan
apa yang kulihat. Sehelai kain putih dikibarkan di halaman rumahmu.
Pun aku mendengar sekelompok orang membicarakanmu.“
Kasihan
sekali ibu muda itu, baru 3 hari melahirkan sudah meninggal,”
bisik seseorang ditengah kerumunan.
Sungguh
Erfina, surat yang kugenggam erat ditanganku lepas oleh lemah dan
ketidak berdayaanku. Baru saja ingin kuungkapkan terima kasihku atas
balasan cintamu, dan baru saja ingin kutunjukkan surat yang kau
simpan selama itu Erfina, kau pergi? Benarkah kau telah pergi Erfina?
Ku
dekati jasadmu yang terbaring pasrah menghadap suratan yang telah
Tuhan tentukan. Tak kuasa aku menghentikan tangis dan kidung doaku
untukmu Erfina. Dentum waktu yang menjemputmu seolah kejam sekali.
“Erfina berpulang sekitar pukul 17.30 tadi mas Afreza. Sebelumnya
ia mengalami pendarahan dan mimisan berulang-ulang.” Jelas Firsan
sembari menggendong bayi cantikmu yang malang.
Erfina,
senja tadi kah yang kau sebut dalam suratmu lima tahun yang lalu? Dan
sajak-sajakmu kah yang kau titipkan melalui gerimis malam ini Erfina?
Lalu, bagaimana dengan puisi dan nyanyian yang ingin kita bingkis
bersama dengan cinta, Erfina?
Khatam
Resti
Dwi Mulyani
Mahasiswi
Sastra Asia Barat angkatan 2012
Lahir
di Cilacap, 2 Januari 1994
Hobi
: Membaca, Berkarya Sastra, menonton Pertunjukan Seni
Aktif
di Lembaga Duta Budaya Yogyakarta, Lembaga Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Budaya, Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat, DKR
Nusawungu, Sanggar Budaya El Mazza Cilacap, Serayu Rescue, Sanggar
Lincak, dan Managemen Akar Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar