Rabu, 18 Juni 2014

Cerpen_Kidung Senja Untuk Erfina

Kidung Senja untuk Erfina
Resti Dwi Mulyani


Barangkali hilang sajakku nanti,
Sebelum mega berpijar redup diantara senja
Maka ketahuilah kekasihku,
Bahwa hujan akan menyanyikanmu
Sebuah lagu rindu”

Aku masih berdiri diantara kerumunan orang-orang yang mengidungkan doanya untukmu, Erfina. Kakiku tak mampu ku gerakkan otot-ototnya untuk mendekap pedihmu yang berkalut waktu. Hanya doaku yang bergetar merayu Tuhan untuk sukmamu. Erfina, berhentilah menutup mata! Lihat Erfina! Bayimu menangis memanggilmu. Tidakkah kau sambut gadis kecilmu itu dan kau kecup keningnya Erfina?

Kau masih ingat Erfina? saat kita adalah sepasang bocahkecil tanpa tahu arti memberi hati? Erfina kecil yang sedari dulu menjadi teman tawaku, teman candaku, dan teman menangisku. Bahkan dalam kepolosan kita, dulu sempat kau tulis namaku dan namamu pada sebuah layang-layang yang kemudian kita terbangkan bersama ditanah lapang. Aku memainkan benang dan kau berlarian heboh menerbangkan tubuh layang-layang bersama nyanyianmu yang sering membuat telingaku sakit. Tapi demikianErfina, aku tak pernah membenci suaramu.

Pernah sesekali Kau membuatku kesal, saat aku membutuhkan teman untuk menerbangkan layang-layang, Kau pergi ke suatu tempat yang jauh ke seberang kota bersama orang tuamu. Katamu, “aku mau ketemu sama om Doktel Za, silupku yang lasa stlobely kemalin udah habis. Besok aku bawain lagi pelmen dali kota deh Za, jangan malah yaa...”
Aku yang belum bisa membedakan mana vitamin dan mana permen itu percaya saja dengan perkataanmu. Akupun melambaikan tangan sambil menahan sedihku saat mobilmu mulai melaju dihadapanku.

Sampai suatu hari, saat usiaku beranjak 19 tahun dan kau 1 tahun lebih muda dibawahku, kita masih memilih sekolah yang sama, ialah SMA N 1 Candradimuka. Kau masih menjadi sahabat terdekatku. Kalau dulu ketika SD kita berjalan kaki bersama menuju sekolah, saat SMA aku menjemputmu menggunakan Ninja hijauku.
Hampir setiap makan siang kita selalu satu meja, dengan menu yang sama. Selalu ada cerita yang menjadi awal perbincangan kita yang hangat. Sungguh, ada kedamaian saat bersama denganmu, sahabatku Erfina.
Afreza, nanti sore aku mau ke om dokter. Tapi aku nggak janji ngasih kamu permen ya... hahaa” seperti biasa setiap 3 bulan sekali, kau berpamitan denganku.
“Hahaa... kamu mau ngambil silup stobely, Na? Pokoknya bawain aku pelmen dali kota yaa...” kataku sambil mengusap kerudung coklatmu.
“ Eh eh eh... aku udah bisa ngomong “R” dong sekarrrrrang... hahaa sirrrup rrrasa strrowberrrynya sekarrrang udah nggak jaman,” protesmu menampakkan wajah bangga.
Duu duuu... udah pinterrr ngomong eRRR ya sekarrrang,,, yahh seenggaknya kalo dengerin kamu nyanyi, telingaku nggak sakit lagi,” kataku sambil memegang telinga kananku.
Afrezaaaa.... awas diatasmu...” kontan aku menengok keatas, dan aku merasa bodoh ketika sadar kalau kau mengalihkan pandanganku kemudian merampok makananku. Tanpa merasa berdosa, kau malah cengar-cengir menikmati bebek bakar kesukaan kita berdua. Sesekali kau berbaik hati menyuapiku yang sebenarnya itu adalah makananku. Tapi sungguh, aku tak membenci sikapmu. Aku semakin merasa nyaman. Entah kedamaian semacam apa yang kurasakan saat itu, Erfina.

Sore itu aku mengantarmu pulang seperti biasa dari sekolah. Dihalaman rumahmu sudah siap mobil yang yang akan mengantarkanmu ke seberang kota. “Ayoo Nak, langsung masuk mobil ya, nanti kita terlambat. Makasih ya Nak Afreza, sudah mengantar Erfina.” Tante Farida membukakan pintu mobil untukmu putri tunggal yang amat dicintainya. “Iya tante sama-sama... mari Om, Tante, Afreza pulang duluan yaa... Erfina, jangan lupa pelmen stobelynya ya,” ejekku sambil tancap gas, dan aku sempat melihatmu melet sambil menutup pintu mobil.

Sepi. Malam minggu biasanya kuhabiskan waktu denganmu menonton pertunjukan teater atau sekedar mencari angin dan es krim disekitar alun-alun kota. Dalam sepiku itu sempat terlintas perasaan apa yang sebenarnya kurasakan terhadapmu. Apa semacam ini yang dinamakan Cinta? Aku merasa bahwa Kau adalah gadis yang paling bisa membuatku rindu saat aku sendiri. Dan paling bisa membuatku bertahan dalam kenyamanan yang tak bisa kulukiskan dengan kanvas seluas apapun. Aku mulai memikirkan keadaanmu. Aku mulai memahami mengapa kau harus rutin 3 bulan sekali menemui doktermu. Erfina dibalik tingkahmu yang selalu ceria, menyimpan ketegaran akan penyakit yang saat itu belum ku tahu sejenis apa. Tapi di setiap ceritamu, seolah tak ada yang membahayakan dari sakitmu itu. Ya, hanya seolah saja.

Aku kembali memikirkan perasaanku. Jika memang ini cinta, artinya aku melanggar persahabatan kita? Dosakah jika demikian? Tapi bukankah cinta itu datang tanpa ku undang? Perasaan ini muncul dan mengalir seperti air yang aku sama sekali tak berkuasa untuk mnghentikannya. Hanya saja, aku tak cukup berani mengatakannya padamu saat itu.. Aku takut perasaanmu berbeda terhadapku dan menjadi aral bagi persahabatan kita.
Pikiranku bertarung mencari kemungkinan-kemungkinan yang aku sendiri tak tahu kebenarannya.



Senin pagi kujemput Kau seperti biasa. Ku lihat senyum sapamu tak berubah dari biasanya. Aku seperti melihat dua matahari yang terbit dipagi itu. Sepanjang perjalanan ke sekolah kau bercerita tentang bangunan rumah sakit yang saat ini sudah berubah sehingga membuatmu lebih lama mencari ruangan om dokter. Aku sama sekali tak pernah mendengarkan cerita keluhan darimu atas penyakitmu. Seolah semua baik-baik saja. Kau adalah wanita yang tegar dan selalu menampakkan senyummu pada siapapun.

Pagi itu upacara bendera seperti biasa dilapangan sekolah kita. Pada menit ke 35 setelah pengibaran bendera merah-putih, aku melihat segerombolan petugas P3K membopong gadis berkerudung putih dari barisan kelas 2. Spontan, aku berfikir itu adalah Kau Erfina. Aku keluar dari barisan dan berlari menuju gadis yang pingsan itu. “Minggir minggir... siapa yang pingsan? Erfina?” tanyaku pada salah satu petugas P3K. “Bukan Kak, ini Dania kelas 2b. Permisi kak kami harus segera membawanya ke UKS. ” Jawabnya terburu-buru. “Oh ya, maaf maaf.” Aku sedikit lega karena itu bukan Kau. Aku kembali kebarisanku, dan tak sedikit siswa yang melirik heran terhadapku. Aku tak peduli, yang penting kupastikan kau baik-baik saja.

Jam makan siang, aku hendak mengajakmu makan seperti biasa. Tapi tak ku temui kau dikelasmu. “Dek, lihat Erfina nggak? Dimana dia ya?” tanyaku pada Nadia teman sekelasnya. “Kak Afreza nggak tau? Tadi sehabis upacara bendera, Erfina mimisan. Terus waktu Mapel fisika tadi dia pingsan,” katanya dengan nada cemas.
Mimisan??? Pingsan??? Kenapa kamu nggak segera ngabarin kakak? Trus sekarang dia dimana? Keadaanya gimana?” kekhawatiranku memuncak.
Dia diantar pulang sama Firsan kak, maaf kak kami nggak kepikiran ngabarin kakak.”
Firsan? Firsan ketua OSIS itu? Pikiranku bertanya-tanya apakah dia kekasihmu yang diam-diam tak kau ceritakan kepadaku? Atau jangan-jangan dia pengagum rahasiamu yang memanfaatkn kesempatan ini untuk mengantarmu pulang, dan mencari perhatian darimu? Tanpa berpikir panjang, aku bolos sekolah dan bergegas kerumahmu untuk melihat kondisimu.

Aku melihat sebuah mobil mewah bertengger didepan rumahmu, yang langsung ku tebak itu mobil Firsan. “Eh nak Afreza, mari masuk. Erfina di dalam sama temannya,” Sambut tante Farida mengantarku kekamarmu. Aku menggerakkan langkahku mendekati kau yang sedang berbaring ditemani ayahmu dan seorang laki-laki berseragam putih abu-abu yang sudah pasti itu Firsan. Aku mengabaikan semua yang kulihat kecuali Kau Erfina. Aku memberanikan diri mendekatimu, dan menyaksikan darah lembut keluar dari hidungmu. Kuambilkan tissu yang selalu tersedia dimeja samping tempat tidurmu dan kubersihkan pelan-pelan darah yang keluar dari hidungmu itu. Aku tahu itu bukan mimisan ringan.Tanpa kusadari untuk pertama kalinya, aku menangis dihadapanmu dan orang tuamu. Tante Farida membisikkan kepadaku, “Erfina nggak papa Nak, lihat dia tersenyum melihatmu.”

Aku menatapmu seperti Kau menatapku. Aku melihat sayup pandanganmu dan mulai ada bendungan bening dipucuk matamu. Seperti terlukis kesakitan yang dalam dibola matamu. Ada kisah yang disembunyikan olehmu. Kau membisikkan sesuatu pada Ibumu, kemudian Ibumu mengajak ayahmu dan Firsan menuju ruang tamu. Seperti ada yang hendak dikatakan olehmu untukku. Tinggalah hanya ada aku dan kau saat itu.
Za, kamu jelek sekali kalo nangis. Hidungmu terlihat besar dan merah. Jelek sekali” Suaramu yang lirih membuatku sedikit tergelitik atas apa yang kau ucapkan.
Kamu juga jelek kalo lagi mimisan. Hidungmu lebih merah dari badut. Ma..makanya ja jangan mimisan lagi,” jawabku sembari menyembunyikan wajahku di balik telapak tanganmu yang kugenggam erat. “ Biarin aku jelek. Tapi kamu sayang kan?” sungguh, pertanyaanmu itu tidak pernah kusangka sebelumnya. Aku terdiam. Aku tak mampu menyembunyikan perasaanku yang ternyata bisa ditebak olehmu.

Aku menyerah Erfina. Cukup tersiksa menyembunyikan perasaanku terhadapmu. Tapi tolong, jangan marah ya. Kamu nggak kecewa kan aku mengingkari persahabatan kita?” kataku kebingungan dan tak percaya diri.
Sejak kapan Kau bodoh Afreza? Seharusnya Kau cukup pintar mencintai wanita, diluar sana banyak yang lebih cantik dan tak berpenyakit sepertiku. Aku tak berfikir sekecilpun untuk mengkhianati persahabatan kita. Kau mengerti kan Afreza?” Tegas sekali Kau mengatakan hal itu. Aku seperti berhadapan dengan pedang yang siap menusuk ke arah paru-paruku. Kau tidak mencintaku. Benarkah? Seperti ada yang memberontak dalam diriku. Aku mengusap wajahku dengan kedua tanganku. Kuhembuskan pelan nafasku untuk menenangkan sejenak jiwaku yang tergoncang. “Erfina, apapun yang kamu mau. Kamu mau menganggapku sebagai laki-laki sebodoh apapun,yang jelas perasaanku tidak akan berubah, aku selalu mencintaimu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Melihatmu sehat, melihatmu bahagia, dan mendengarmu bernyanyi di setiap sela perbincangan kita.” Tiba-tiba kalimat panjang mengalir dari mulutku.
Afreza, aku ini tidak sakit. Aku hanya mimisan ringan dan mengantuk berat. Sudahlah, kita ini sahabat. Kamu bisa mendapatkan wanita yang tidak ngantukan sepertiku. Yang bisa menyanyi lebih merdu dibanding suaraku, agar telingamu tak sakit,” katamu membodohiku.

Kau terlihat merendahkan hatimu. Tapi hal itu justru membuatku semakin mencintaimu. Sebenarnya cukup banyak yang ingin kusampaikan saat itu, tapi aku melihat raut lelah dari wajahmu. Aku memutuskan membiarkan senja itu untuk istirahatmu.
Erfina, aku tidak ingin membuatmu semakin lelah. Aku hanya ingin menjagamu bagaimanapun keadaanmu, beristirahatlah untuk kesembuhanmu. Aku pamit dulu ya, kalau kamu butuh apa-apa sampaikan saja kepadaku. Oke?” Kau hanya membalasku dengan senyuman dan sekali lagi kulihat matamu berair.

Diruang tengah kudapati om Edi, tante Farida, dan Firsan sedang membicarakan sesuatu. Aku tertarik mendengarkan pembicaraan itu dari balik tembok.
Jadi nak Firsan ini kekasihnya Erfina? Kok dia belum cerita ke tante ya? Memang sejak kapan Nak?” Pertanyaan tante Farida membuat lututku seperti meleleh dan membuatku menyimpuhkannya dilantai.
Iya tante, baru kemarin sore kok. Hehee mungkin Erfiina belum sempat menceritakannya sama Tante dan Om.” Jawaban Firsan semakin membuat mataku sembab.
Sebenarnya apa yang membuat kamu suka sama anak om Firsan? Kamu sudah tahu tentang penyakitnya? Dan apa kamu tidak menyesal?” tanya om Edi.
Tahu kok Om, dari awal saya mengungkapkan perasaan saya, Erfina bilang kalau dia sakit. Tapi om sama tante tenang saja, saya mencintai Erfina dengan tulus Om, walaupun dia sakit,” Jawab Firsan meyakinkan.
Maaf sebelumnya lho ya Nak Firsan, setahu tante si Erfina kan dekat dengan Afreza. Jadi tante cukup kaget kalau ternyata nak Firsan ini kekasihnya.” Pertanyaan tante Farida semakin membuat telingaku enggan berpindah dari balik tembok itu.
Oh iya tante, kata Erfina mas Afreza itu sahabat terdekatnya sejak dia masih kecil. Tapi sekedar sahabat Tan.” Jawaban Firsan sungguh membuatku membeku dibalik tembok. Kenapa kau tak pernah bercerita kepadaku tentang laki-laki yang dekat denganmu selain aku?Bukankah katamu aku adalah sahabatmu?
Ya sudah, tapi ingat... kalian masih masanya sekolah. Jangan sampai terganggu belajarnya!” Om Edi menghisap dalam-dalam rokoknya sambil berlalu meninggalkan ruangan. Seperti ada yang berat dihati om Edi.
Terimakasih Om, Tante. Ohya sepertinya hari sudah sore, saya pamit dulu ya Tante. Salam buat Erfina.” Firsan berpamitan tanpa menengokmu terlebih dahulu.
Sepertinya raut wajah tante Farida juga menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang sama denganku. Entahlah, lelah sekali pikiranku saat itu. Akupun menyusul berpamitan dengan om Edi dan tante Farida.
Sembab sekali matamu Afreza, kamu baik-baik saja kan?” tanya om Edi ketika kujabat hangat tangannya.
Saya baik-baik saja Om. Saya hanya tak sanggup melihat sahabat terbaik saya terbaring sakit.”
Afreza, om minta tolong. Tolong bantu jaga Erfina. Om sangat percaya denganmu.Om Edi menepuk pundakku.
Kalimat om Edi seperti memberiku secercah harapan. Aku berjanji pada diriku sendiri dan kepada om Edi untuk menjagamu. Entah sebagai sahabatmu atau sebagai kekasihmu.

Kutancapkan gas ninjaku menyusuri trotoar masih dengan pikiranku yang kalut. Bukan memikirkan cintaku yang tertolak, tapi lebih memikirkan bagaimana membuatmu bahagia. Aku tak peduli mau seberapa hancur perasaanku, yang terpenting adalah kesembuhan dan kebahagiaan untukmu. Kalaupun Firsan ternyata adalah orang yang kau pilih, aku berusaha tetap menjaga perasaanku tanpa memaksakan perasaanmu. Semoga Firsan adalah lelaki terbaik untuk kamu, Erfina. Tapi kalau suatu hari nanti Firsan menyakitimu, maka aku adalah orang pertama yang akan menghadapinya untukmu.

Hari demi hari aku melihatmu membaik, bisa kulihat kembali tawa dan wajah manismu. Hanya yang berbeda, sekarang Kau tak lagi mau kuajak ke alun-alun setiap malam minggu. Kau tak lagi makan siang semeja denganku. Kamu memilih Inova hitam dan kekasihmu Firsan untuk menggntikanku. Aku kehilangan sosok Erfina yang baisanya selalu bersama denganku.

Kau tahu Erfina? Saat tanganmu bergandengan dengan Firsan, seolah-olah ada yang merobek-robek keras tanganku. Pun saat melihatmu duduk berdua dengannya, seolah ada api melilit disekelilingku. Jujur Erfina, aku cemburu. Amat sangat cemburu. Apa kau sebegitu tak mengenaliku lagi? SMS atau telefonku tak kau jawab seperti dulu. Saat berpapasan denganmu pun kau hanya sedikit menyunggingkan senyum.
Dosa apa yang kuperbuat terhadapmu Erfina? Bukankah katamu kita adalah sahabat? Paling tidak, jika kau tak menerimaku sebagai kekasihmu, kau masih menerimaku sebagai sahabatmu. Tapi sejak Senin itu kau berubah. Mungkin Kau bosan atau kesal atau apalah terhadapku. Baiklah, aku tak apa kau acuhkan. Aku masih Afreza yang mencintaimu dari balik kecemburuanku.


Empat tahun berlalu, masih Kau semukan persahabatan kita. Hingga suatu hari tiba-tiba kau mengirimiku sebuah SMS yang membuatku sangat terkejut bahagia. Sungguh Erfina, itu SMS pertama yang kau kirim setelah empat tahun kau habiskan waktu kuliahmu di Kota orang.

Afreza, bgmna kbarmu? Mlm ini mau gk jmput aq, qt nostalgia ke alun-alun kota yuk… kangen kamu, ~Erfina”
Segera kubalas SMS-mu dengan tangan gemetar
Kabarku baik Erfina. Bgmna dngan kabarmu? Suatu keajaiban diajak ke alun-alun olehmu setelah empat thun lebih kau tdk ada kabar. Tentu saja aq mau. Aku siap2 skrang

Aku benar-benar tak sabar ingin menjemputmu malam itu. Sampai didepan rumahmu, kudapati kau sudah menunggu di teras rumahmu yang luas.
Malam itu aku melihatmu lebih dewasa Erfina.Gaunmu sangat indah, serasi dengan senyum dan sapa yang dulu setiap hari kulihat. Aku seperti melihat ada dua bulan yang bersinar dimalam itu, yaitu dilangit dan di sampingku.

Sekitar satu jam kita jalan-jalan memutari keramaian alun-alun kota, Kau mulai mengajakku mencari tempat duduk dan berbicara sesuatu yang membuatku ingin mati saat itu juga.

Afreza, sebelumnya aku ingin melihatmu tersenyum dulu sebelum aku menyampaikan hal ini kepadamu.” Kau menatapku ragu.Akupun tersenyum memenuhi permintaanmu.
Afreza, aku minta maaf. Empat tahun ini mengacuhkan SMS dan telefonmu. Tapi sungguh, aku tak sedikitpun lupa denganmu. Aku ingin memberimu sesuatu. Tapi tolong, kamu jangan membenciku.”Kau menyodorkan selembar kertas tebal bermotif bunga dan cincin. Kubaca pelan-pelan dan berulang-ulang untuk memastikan apakah benar itu adalah namamu dan nama Firsan yang tertera dalam undangan pernikahan itu. Benar. Itu Kau dan Firsan. Lama kutatap undangan itu, tak sadar mataku melelehkan air yang selama ini beku didalamnya. Aku mencoba tenang, tapi tak bisa. Ingin berteriak sekencang-kencangnya tapi aku tahu itu bodoh.

Erfina, aku pasti akan datang. Aku akan selalu ada kapanpun kau mengundangku.” Hanya kalimat itu yang mampu terucap untuk Erfina.kulihat kau hanya datar melihatku dengan sedikit menyembunyikan raut pucatmu. Aku segera mengajakmu pulang. Sudah tak tahan ingin ku banting bantal-guling yang tak berdosa itu sebagai pelampiasan kecemburuanku terhadapmu.

Selasa, 4 Januari 2011 aku mengantarmu ke gedung akbar kota yang biasa orang-orang pakai untuk resepsi. Aku berdiri tepat dibelakangmu dan menyaksikan tanganmu digandeng mesra oleh Firsan. Gaunmu yang amat serasi dengan gaun Firsan, cincin pernikahan yang melekat erat di jarimu dan di jari Firsan, dan bunga-bunga yang kalian kenakan, seperti cambuk panas bagi mata dan hatiku. Tak kuasa kakiku lama-lama di belakangmu, aku berpura-pura mengangkat telefon dan berpindah posisi. Aku memeras air mataku dibalik pintu belakang yang kupastikan tak ada orang yang melihatku.
Tuhan, jika puisi cintaku kau hentikan sampai hari ini, ijinkan aku tak menjadikannya penyesalan. Sungguh, seberapa hancur perasaanku tak akan kubiarkan egoku membuat hari bahagianya terganggu. Ya, hari bahagianya. Semoga,gumamku menyendiri lama dibalik pintu.


Memasuki bulan pertama setelah pernikahanmu, aku tak mendapatimu ceria seperti dulu. Kau lebih pendiam dan jarang terlihat diluar. Kabarmu pun tak ku dengar lagi. Tapi aku sudah tak berhak mencampuri urusanmu yang saat itu sudah menjadi urusan Firsan.
Aku mulai mencari puisi yang lain untuk menggantikanmu di lubuk ini, tapi tak bisa. Sungguh tak ada yang sepertimu lagi Erfina.
Suatu hari, ku dengar kabar bahwa kau hamil. Kauhamil Erfina? Belum usai kepedihanku akan pernikahanmu lalu kau berikan cambuk lagi untukku dengan kehamilanmu dengan Firsan? Baiklah. Aku semakin sadar bahwa aku bukanlah nyanyian indah untuk hidupmu. Walaupun kau akan selalu menjadi puisi terindah dalam hidupku. Mungkin aku mulai lelah dengan remuknya cintaku, tapi Erfina, aku akan selalu mendoakan kebahagiaan untukmu.

Beberapa bulan berlalu hingga kudengar suara tangis bayi perempuanmu dari balik ruang bersalin RS. KasihIbu. Lalu ku saksikan Firsan menggendong dan mencium kening bayi cantik itu dengan lembut dan penuh haru. Firsan telah sah menjadi ayah dari anakmu Erfina. Dan artinya aku telah sah menjadi nyanyian kosong bagi hidupmu. Ya, nyanyian kosong. Aku mendekati bayimu dan kugendong merasakan kebahagiaan bercampur kesedihan yang menjadi satu entah perasaan semacam apa itu. Ku ucapkan selamat kepada Firsan dan kepadamu atas lahirnya malaikat kecil pelengkap kebahagiaan rumah tanggamu. Tak sadar kuhabiskan 2 botol air mineral dalam sekejap.

Afreza…” Kau memanggilku dengan suara lirih sekali, suaramu terdengar berat. Aku segera mendekat kepadamu.
Iya Erfina, ada yang bisa aku bantu? Kau mau minum?” tanyaku khawatir.
Besok malam pergilah ke alun-alun kota, aku menitipkan secarik surat untukmu sejak lima tahun yang lalu. Aku menulisnya untukmu. Ambilah didalam botol yang kusimpan baik-baik di antara ranting besar, pohon yang biasa kita tulisi nama kita,” bisikmu pelan.
Sungguh Erfina? lama sekali kau menyimpannya!Aku pasti akan mengambilnya besok malam.” Aku sangat terkejut. Hamper seluruh logikaku tak percaya. Sungguh, aku tak sabar menanti besok malam.

Sore itu aku ikut mengantarmu dan bayimu kembali kerumah. Walaupun aku tahu tak penting keberadaanku dibanding keberadaan Firsan saat itu. Aku menyetir mobil Firsan dan membawa keluarga kecil kalian menuju rumah. Tentu saja ada yang sesak didadaku, amat sesak Erfina. Kerap kali ku lirik Kau dari kaca spion di dalam mobil. Kudapati kau tersenyum kepada kedua bola mataku.


Malam yang ku tunggu telah datang. Aku bersiap-siap menjemput surat yang kau simpan untukku sejak lima tahun yang lalu. Di alun-alun kota yang ramai oleh para remaja itu, mataku sibuk menelusuri ranting-ranting yang besarnya sama dengan kaki gajah dan berselimut daun-daun lebat. Tanganku meraba-raba pada bagian terdalam antara sela ranting-ranting itu. Ada semacam benda yang kutemukan. Botol? Ya... itu botol...!!! akhirnya aku menemukan botol yang berisi surat darimu. Tak perlu berfikir lama, langsung kubuka botol itu dan kubaca coretan tinta yang kau tulis itu.

Teruntuk nyanyian terindahku , Afreza
Aku masih berbicara
Pada sederet mega yang berpijar diatas ufuk senja
Ada semacam awan mekar menutupinya
Aku berusaha sembunyi dibalik awan itu
Seperti persmbunyian perasaanku terhadapmu, Afreza
Lewat belasan tahun persahabatan kita
Tentu ada kisah baru setelah aku dankau telah dewasa
Afreza, mendengar kejujuranmu hari kemarin
Aku bahkan lebih bahagia dari sinar fajar yang menutup malam
Akupun selalu menyimpan namamu sebagai nyanyian terindah
Pada malam yang menggantung dan pagi yang menjelang
Sungguh Afreza, aku telah mengukir namamu
Sebagai kekasihku
Tapi, Ataxia-ku lebih kuat dari perasaanku
Mungkin Ataxia ini akan merengkuhku
Entah pada senja esok atau lusa
Maka itu wahai kekasihku,
Aku tak ingin kaupun merasakan sakitku
Cukup dari balik persembunyianku
Aku mencintaimu
Dan...
Barangkali hilang sajakku nanti,
Sebelum mega berpijar redup diantara senja
Maka ketahuilah kekasihku ,
Bahwa hujan akan menyanyikanmu
Sebuah lagu rindu
Erfina
Membaca tulisanmu itu, tubuhku seperti terlilit oleh angin tanpa kutahu panas atau dingin. Ada rasa sesal kenapa baru kau perbolehkan aku untuk membacanya malam ini? Kenapa tak lima tahun yang lalu saja sebelum kau memilih Firsan? Tapi sungguh Erfina, ada secercah bahagia setelah tahu perasaanmu terhadapku. Malam itu juga ingin kupastikan kepadamu akan isi suratitu. Aku menyusuri trotoar menuju rumah baru yang kau singgahi bersama keluarga kecilmu.

Tiba dihalaman rumahmu, Erfina, tubuhku seakan mengerdil. Mataku tak dapat kupercaya dengan apa yang kulihat. Sehelai kain putih dikibarkan di halaman rumahmu. Pun aku mendengar sekelompok orang membicarakanmu. Kasihan sekali ibu muda itu, baru 3 hari melahirkan sudah meninggal,” bisik seseorang ditengah kerumunan.
Sungguh Erfina, surat yang kugenggam erat ditanganku lepas oleh lemah dan ketidak berdayaanku. Baru saja ingin kuungkapkan terima kasihku atas balasan cintamu, dan baru saja ingin kutunjukkan surat yang kau simpan selama itu Erfina, kau pergi? Benarkah kau telah pergi Erfina?
Ku dekati jasadmu yang terbaring pasrah menghadap suratan yang telah Tuhan tentukan. Tak kuasa aku menghentikan tangis dan kidung doaku untukmu Erfina. Dentum waktu yang menjemputmu seolah kejam sekali. “Erfina berpulang sekitar pukul 17.30 tadi mas Afreza. Sebelumnya ia mengalami pendarahan dan mimisan berulang-ulang.” Jelas Firsan sembari menggendong bayi cantikmu yang malang.
Erfina, senja tadi kah yang kau sebut dalam suratmu lima tahun yang lalu? Dan sajak-sajakmu kah yang kau titipkan melalui gerimis malam ini Erfina? Lalu, bagaimana dengan puisi dan nyanyian yang ingin kita bingkis bersama dengan cinta, Erfina?

Khatam


Resti Dwi Mulyani
Mahasiswi Sastra Asia Barat angkatan 2012
Lahir di Cilacap, 2 Januari 1994
Hobi : Membaca, Berkarya Sastra, menonton Pertunjukan Seni
Aktif di Lembaga Duta Budaya Yogyakarta, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat, DKR Nusawungu, Sanggar Budaya El Mazza Cilacap, Serayu Rescue, Sanggar Lincak, dan Managemen Akar Yogyakarta.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar