Senin, 08 Desember 2014

Sajak Kerikil Warna



Senja ini masih ku toreh senyum
Pada ambang langit yang kian memerah
Masih ku mainkan kerikil-kerikil warna
Sesekali ku tengok orang itu
Yang duduk di samping kananku

Senja ini pertama kali ku tulis nama orang itu
Bukan di atas kertas seperti menulismu
Tapi di atas rasa yang orang bilang ini cinta
Bahkan tak sedikit kalimat
Yang menjadi teman menyusuri perjalanan

Senja telah pergi
Dia masih di samping kananku
Acap kali ku dengar  suara orang itu
kadang terselip diam
entah semacam kerikil warnakah ia
tapi di sini
Di lubuk batin terdalam ini
Orang itulah yang terlukis
sebagai teman perjalananku
perjalanan hidupku
dan matiku

Kepada Lorong yang Kau sebut sebagai Dunia





Tolong sampaikan pada rusuk-rusuk manusia
Bumi tengah lazim menggoyahkan tiap-tiap jeruji panas
Panorama berdering keruh menggores kisah
Pada lorong yang kau sebut sebagai dunia
Kemudian larutlah seonggok ikrar melalui lengking lisannnya

Aku masih berbicara pada tembok di hadapanku
Pada awal perumusan baja yang ku tancap dalam.
Tapi tak perlu badai untuk menggoyahnya
Lipatan lipatan tebal pada symbol warna hijau
Ketika kau melihatnya, baja telah melebur

Dan tengoklah sedikit lutut kananmu
Benarkah hilang sendi sendi purnanya?
Benarkah putus urat-uratnya?
Saat tahta adalah segalanya?
Begitukah jemarimu bercerita?

Elemen bercorak lenggok, mengintip rona-rona buram
Pantulan dingin mencengkeram tiap sapa
Saat itulah tulang-tulang memberontak
Dengan apa kakinya menyeka?
Sedang lututnya terbelit kegoncangan

Ini Sebuah Apa...???




(Maret, 2014)
Detik masa masih mengumpan Tanya
Aku dan kisah yang di tulisnya
Tentang rasa, tentang cinta, tentang kita
Barang kali, dia ya memang dia
Ramah sapa yang karib datang
Pun tawa kecil dalam kenang

Di sampingnya adalah damai dan tenang
Dengan apa ku menyebutnya?
Kadang sampai waktu berlalu
Aku masih berfikir, benarkah memang dia?
Bagaimana kalau ini hanya sandiwara?

Ku tulis lagi namannya
Pada lembar putih yang ku sebut sebagai hati
Ku dekap dengan telapak tanganku
Dan ku temukan degup cepat
Lalu ku biarkan mulutku menyebut namanya
Pelan, dalam ke hati-hatian
Berharap ini bukanlah kekhilafan